Pages

Friday, September 2, 2011

13 Agustus 2011 –Semoga papi punya secuil kebijakan-


Apa itu benar dan apa itu salah? Apa itu putih dan apa itu hitam? Apa itu bagus dan apa itu jelek? Kesimpulan paling hakiki dari pertanyaan-pertanyaan diatas merupakan pengejawantahan dari perbedaan yang ada di dunia yang tua ini. Setiap makhluk hidup yang berakal akan selalu mempertanyakan hal ini ketika ia mulai dapat berpikir dan melihat adanya perbedaan. Aku selalu percaya bahwa perbedaan itu indah adanya dan perbedaan yang ada bukan merupakan jurang pemisah namun perekat abadi untuk memahami artinya kesatuan yang indah. Masalahnya adalah bagaimana mentransfer ide ini pada putri kami?

Saat ini kita hidup didalam dunia modern yang bermutasi sangat dinamis baik dari segi teknologi maupun informasi. Kesalahan dalam mentransfer ide itu merupakan kesalahan sempurna dari setiap individu yang bernama manusia. Dalam diriku sekarang terjadi kebingungan yang hampir dialami setiap orang tua di seluruh dunia sepanjang peradaban sejarah umat manusia.

Kebingungan dalam mentransfer ide tentang perbedaan lebih bertumpu pada satu sebab yakni tiadanya jalan yang pasti benar dan pasti salah. Memaksakan suatu ide kepada putri kami bukan merupakan jawaban yang mutlak salah, sementara tidak memaksakan juga bukan jawaban yang mutlak benar karena sesuatu yang bersifat mutlak hanya ada pada keabadiaan yang hakiki.

Dalam situasi ini, aku teringat analogi tentang bagaimana Tuhan melihat anak-anaknya yakni manusia. Tuhan, dalam analogi tersebut, bagaikan ayah yang melihat anaknya memanjat pohon. “anakku, memanjat pohon dengan tidak berhati-hati akan mengakibatkanmu jatuh dan kesakitan”, begitu pesan Tuhan kepada anaknya. Ia tidak melarang namun menasehati dan ketika kita, manusia, memanjat pohon itu, kita sudah mendengar resiko yang akan terjadi dan kita akan tetap memanjat pohon itu. Ketika jatuh dan menangis, Tuhan tidak marah, namun IA akan meraih tangan kita, membopong dan memangku kita di pangkuannya sambil memeluk dan berkata “sudah jangan menangis, lain kali naik pohonnya lebih hati-hati ya” tidak ada penyesalan dalam kata-kataNYA melainkan penghiburan dan pengharapan agar kita bangkit dan berjuang lagi.

Mampukah aku memiliki secuil kebijakanmu oh wahai Keabadian?  

No comments:

Post a Comment