Pages

Friday, September 2, 2011

18 Agustus 2011 –Kegagalan sebagai sahabat setia-


Kau datang ketika kesedihan itu mendera
Merangkul dan menemani diriku
Menangis bersama dalam pekatnya malam

Kau datang ketika kekecewaan itu menggunung
Menemaniku berteriak dalam emosi
Meninju awan yang gelap, bertanya tentang keadilan

Kau slalu hadir saat gelapnya mendung
Menghilang dalam keceriaan embun pagi
Tak pernah ada kesempatan bagiku
Tuk ucapkan terima kasih kepadamu....
(WishingTrees)

Tiga piala sudah terpampang manis di rumah kami yang mungil, hasil yang didapat beruntun dari perjuangan putri kami dalam tiga lomba yang berbeda, juara 1 dalam lomba menggambar dengan komputer, juara 2 dalam lomba senam bebas dan juara harapan 2 dalam lomba kerajinan tangan duet antara ibu dan anak.

Kemarin, putri mungil ini bercerita bahwa dia memenangkan lomba membawa kelereng di sekolah dalam perayaan Tujuh Belas Agustus dan meraih juara 1. Aku  mendengar keceriaan-nya didalam bercerita bagaimana ia sukses memenangkan lomba tersebut dan menyimpulkan bersama dirinya bahwa ia menang dalam lomba itu karena berhasil membawa kelereng dalam keadaan stabil dan tenang. Sesaat setelah pembicaraan itu, tiba-tiba aku merasakan keinginan untuk menuangkan rekaman peristiwa ini agar kelak dewasa nanti ia dapat mengerti pikiran dan tindakan papinya selama ini.

Juara, menang dan sukses identik dengan keberhasilan yang nilainya mewah, kita selalu mendengar ataupun melihat berita tentang kesuksesan dan keberhasilan orang lain. Seringkali kisah sukses ataupun keberhasilan tersebut didengungkan sekilas dengan kisah kegagalan, namun porsi terbesar selalu berita tentang keberhasilan itu sendiri. Jarang sekali atau bahkan tidak ada manusia yang mampu untuk menceritakan bagaimana ia gagal dan merasakan manisnya kegagalan tersebut sebelum ia sukses, termasuk aku yang sedang bercerita ini.

Kesuksesan butuh kemampuan diri yang luar biasa untuk menerima kegagalan sebagai sahabat setia. Sebenarnya mau diakui atau tidak, dalam kehidupan ini kegagalan merupakan sahabat setia kita, sementara kesuksesan bukanlah teman yang baik dan setia. Bersama kegagalan kita mengenal kata pantang menyerah, berjuang kembali, termotivasi kembali, menangis sedih, kecewa dan mau belajar lagi. Sementara bersama kesuksesan kita akan mengenal kata sombong, tidak mau belajar, merasa lebih pandai dari orang lain, superior, outstanding bahkan dalam kasus yang akut bisa menyebabkan victory disease (penyakit kemenangan). Hasilnya jelas, bersama kegagalan kita akan lebih banyak menerima nasehat dan dorongan supaya bisa menerima keberagaman dalam hidup yang dinamis dan nanti ketika diinsyafi akan kelihatan normalnya. Sementara di dalam keberhasilan, mata hati dan telinga kita pelahan namun pasti akan menjadi tertutup akibat terbuai oleh puja puji yang menyebabkan kita tidak bisa lagi membedakan mana yang terbaik bagi diri kita.

Kembali ke cerita diatas, setelah merasakan tiga kali kemenangan beruntun , sesaat sesudah kemenangan yang ketiga, aku langsung mengajak istri berembuk dan sepakat agar kita sekuat tenaga mengikutsertakan dia ke dalam lomba lebih banyak lagi. Tujuannya jelas, yakni untuk mencari kekalahan karena tanda-tanda victory disease sudah didepan mata kami berdua dan itu tidak baik karena bagiku kekalahan memiliki nilai dan bobot yang lebih besar daripada kemenangan. Aku bertekad untuk memperkenalkan sahabat setia putri kami dalam kehidupan ini sesegera mungkin.

Akhirnya putri kami mengenal kekalahan untuk pertama kali dalam lomba yang diikuti setelah kemenangan beruntun itu, ia menangis sedih dan bercerita dalam pilu tentang bagaimana ia kalah dan betapa kecewa dirinya. Untuk pertama kalinya  aku mendengar ia berkata Kenapa aku kalah? Kenapa aku bisa kalah? Dalam kebahagiaan yang tak terlukiskan kugendong dan peluk erat dirinya serta berkata “kalah dan menang itu biasa, justru papi bangga sama kamu ketika kamu kalah, ayo jangan patah semangat ya.”

Momen kekalahan yang indah itu terekam terus dalam pikiranku dan hari ini, ketika dia menang dalam lomba membawa kelereng, dalam hati kecil, aku berharap agar ia dapat selalu menjaga nilai dari kemenangan itu tidak lebih dibanding dengan nilai dari kekalahan yang diperolehnya.  

13 Agustus 2011 –Semoga papi punya secuil kebijakan-


Apa itu benar dan apa itu salah? Apa itu putih dan apa itu hitam? Apa itu bagus dan apa itu jelek? Kesimpulan paling hakiki dari pertanyaan-pertanyaan diatas merupakan pengejawantahan dari perbedaan yang ada di dunia yang tua ini. Setiap makhluk hidup yang berakal akan selalu mempertanyakan hal ini ketika ia mulai dapat berpikir dan melihat adanya perbedaan. Aku selalu percaya bahwa perbedaan itu indah adanya dan perbedaan yang ada bukan merupakan jurang pemisah namun perekat abadi untuk memahami artinya kesatuan yang indah. Masalahnya adalah bagaimana mentransfer ide ini pada putri kami?

Saat ini kita hidup didalam dunia modern yang bermutasi sangat dinamis baik dari segi teknologi maupun informasi. Kesalahan dalam mentransfer ide itu merupakan kesalahan sempurna dari setiap individu yang bernama manusia. Dalam diriku sekarang terjadi kebingungan yang hampir dialami setiap orang tua di seluruh dunia sepanjang peradaban sejarah umat manusia.

Kebingungan dalam mentransfer ide tentang perbedaan lebih bertumpu pada satu sebab yakni tiadanya jalan yang pasti benar dan pasti salah. Memaksakan suatu ide kepada putri kami bukan merupakan jawaban yang mutlak salah, sementara tidak memaksakan juga bukan jawaban yang mutlak benar karena sesuatu yang bersifat mutlak hanya ada pada keabadiaan yang hakiki.

Dalam situasi ini, aku teringat analogi tentang bagaimana Tuhan melihat anak-anaknya yakni manusia. Tuhan, dalam analogi tersebut, bagaikan ayah yang melihat anaknya memanjat pohon. “anakku, memanjat pohon dengan tidak berhati-hati akan mengakibatkanmu jatuh dan kesakitan”, begitu pesan Tuhan kepada anaknya. Ia tidak melarang namun menasehati dan ketika kita, manusia, memanjat pohon itu, kita sudah mendengar resiko yang akan terjadi dan kita akan tetap memanjat pohon itu. Ketika jatuh dan menangis, Tuhan tidak marah, namun IA akan meraih tangan kita, membopong dan memangku kita di pangkuannya sambil memeluk dan berkata “sudah jangan menangis, lain kali naik pohonnya lebih hati-hati ya” tidak ada penyesalan dalam kata-kataNYA melainkan penghiburan dan pengharapan agar kita bangkit dan berjuang lagi.

Mampukah aku memiliki secuil kebijakanmu oh wahai Keabadian?  

4 July 2011 –Selamat Datang Sekolah Dasar-


Anakmu bukanlah milikmu,
mereka adalah putra putri sang Hidup,
yang rindu akan dirinya sendiri.

Mereka lahir lewat engkau,
tetapi bukan dari engkau,
mereka ada padamu, tetapi bukanlah milikmu.

Berikanlah mereka kasih sayangmu,
namun jangan sodorkan pemikiranmu,
sebab pada mereka ada alam pikiran tersendiri.

Patut kau berikan rumah bagi raganya,
namun tidak bagi jiwanya,
sebab jiwa mereka adalah penghuni rumah masa depan,
yang tiada dapat kau kunjungi,
sekalipun dalam mimpimu.

Engkau boleh berusaha menyerupai mereka,
namun jangan membuat mereka menyerupaimu,
sebab kehidupan tidak pernah berjalan mundur,
ataupun tenggelam ke masa lampau.

Engkaulah busur asal anakmu,
anak panah hidup, melesat pergi.

Sang Pemanah membidik sasaran keabadian,
Dia merentangkanmu dengan kuasaNya,
hingga anak panah itu melesat jauh dan cepat.

Bersukacitalah dalam rentangan tangan Sang Pemanah,
sebab Dia mengasihi anak-anak panah yang melesat laksana kilat,
sebagaimana dikasihiNya pula busur yang mantap.
(Kahlil Gibran 1883-1931)

Pagi yang cerah dan indah ini seakan memberi tanda bagi putri kami untuk memasuki gerbang Sekolah Dasar. Dia telah bangun pagi dengan kebahagiaan dan kebanggaan karena hari ini dia telah berhak untuk memakai seragam putih dan rok merah serta topi yang berlogo Tut Wuri Handayani. Ya, itu adalah seragam Sekolah Dasar yang akan dilaluinya, jika normal, selama enam tahun ke depan. Enam tahun yang akan membangun karakter dalam dirinya.

Sesaat ketika memandang istriku yang kerepotan dengan perangkat sekolahnya, aku melihat kecemasan seorang ibu terhadap masa depan putrinya. Kami berdua memiliki berbagai macam pertanyaan tentang bagaimana karakter kecil ini mampu terbentuk dengan kuat tanpa intervensi yang berlebihan dari orang tuanya.

Harapan kami tidak berlebihan, kami hanya ingin putri kecil ini tumbuh menjadi seseorang yang berguna bagi sesamanya, terlepas dari apapun cita-citanya nanti di kemudian hari. Semoga kami tidak berlebihan dalam pengharapan dan tidak berharap terlalu lebih kepada putri kami yang istimewa ini. 

26 Juni 2011 –Putri yang khawatir-


Hari yang cukup mendebarkan ketika kemarin lusa istriku masuk rumah sakit akibat kontraksi dari kehamilannya yang masih memasuki delapan bulan lebih. Putri kami yang kedua dijadwalkan akan lahir pada akhir july 2011, namun entah kenapa rencana tersebut berakhir berantakan dan akibatnya proses kelahiran direncanakan, maju satu bulan lebih awal ketika pada akhirnya kontraksi yang berkepanjangan itu membuahkan pembukaan kelahiran yang mengakibatkan kelahiran normal.

Putri kedua kami lahir prematur, sore ini ketika matahari mulai terbenam di ufuk barat, dengan selamat. Suara teriakan tangisan yang pertama terdengar begitu kencang menandakan paru-parunya yang sehat. Selamat datang anakku, selamat bergabung dalam keluarga kecil kami. Semoga engkau selalu sehat dan memberikan warna yang berbeda dalam hidup kami.

Sekilas kulihat adanya perasaan senang bercampur cemas dari putri kami yang pertama. Senang karena setelah menanti selama enam tahun akhirnya ia memiliki seorang adik, cemas karena dalam dirinya terjadi suatu pertentangan batin mengenai kepastian kasih sayang yang terbagi. Akankah diriku kan tetap menjadi pujaan papi dan mamiku? Akankah adikku akan merebut semua kasih sayang itu dariku? Pertanyaan lumrah dari setiap anak yang telah mendapat curahan kasih sayang sempurna selama enam tahun.

Hari ini aku bertanya pada diriku sendiri, mampukah kami bersikap adil padanya dan kepada adiknya? Mampukah aku menyayangi dirinya sama seperti dulu waktu putri kedua kami belum lahir? Mampukah aku bersikap adil, meskipun kadang keadilan berarti tidak adil bagi salah satu diantara keduanya?  Meskipun gamang terhadap kedua pilihan itu, aku bertekad untuk tetap tidak mengecewakan keduanya, semoga Tuhan merestui tekadku ini. 

17 Juni 2011 –Selamat tinggal Taman Kanak-Kanak-

Satu-satu daun-daun berguguran tinggalkan tangkai-nya
Satu-satu burung kecil beterbangan tinggalkan sarangnya
Jauh-jauh tinggi ke langit yang biru

Sore itu merupakan salah satu dari sekian hari yang cerah dan panas di kota Jakarta, ketika aku menyadari bahwa lagu “andaikan aku punya sayap” gubahan dewi lestari yang dinyanyikan oleh guru KB dan TK di tempat putri kami bersekolah merupakan akhir dari cerita masa lima tahun pertama putri kami dan awal dari perjuangannya menuju gerbang kedewasaan untuk melihat indahnya dunia.

Sesaat air mata haru mengembang di pelupuk mata, mendengar para guru yang saat itu menyanyi. Lagu sederhana tersebut merupakan sekelumit perasaan yang keluar dari hati para guru mengingat bahwa perpisahan mereka hari itu untuk melihat anak didiknya terbang menuju ke angkasa, sementara mereka akan terus mengabdi dalam rentangan waktu ditempat yang sama untuk memberikan didikan terbaik kepada anak-anak yang silih berganti akan tumbuh menjadi dewasa.

Jika aku menoleh ke belakang, ke masa ketika kami pun harus berpisah dengan guru-guru kami, kami tidak menyadari bahwa perpisahan tersebut mungkin juga membuat guru kami merasa sedih, bangga dan perasaan campur aduk melihat anak didik mereka menapaki landasan awal dari kehidupan untuk mengepakkan sayap kami menuju ke angkasa. Hari ini ketika melihat putri kami dan teman-temannya menyanyi riang gembira, berlari dan berkejaran, aku melihat sekelumit air mata dari ibu kepala sekolah, entah itu air mata bangga, air mata haru atau air mata untuk keduanya.

Di sore itu, aku menengadah ke awan dan berdoa di dalam hati agar Tuhan mau menyayangi para Guru dimanapun mereka berada dan semoga putri kami mampu menyadari pengorbanan mereka, lebih cepat daripada papinya yang baru menyadari ketika usianya menginjak angka tiga puluhan. Terima kasih atas pengorbananmu Bapak dan Ibu Guruku. 

Prelude


Cerita ini dibuat berdasarkan janjiku pada putri pertama kami untuk mengisahkan sebuah kenangan tentang hubungan kami, suka duka yang terjalin, cerita tentang seorang putri dengan ayah dan ibunya dan sejarah kecil tentang perjalanan manusia yang terpisah oleh perbedaan umur dan gap sosial antara orang tua dan anak.