Suatu malam ia bercerita tentang seorang teman laki-laki di kelas lain yang dipanggil Mr. Bean, rasa kantuk yang menghampiri tiba-tiba lenyap ketika ia bercerita bagaimana ia ikut memanggil teman tersebut dengan panggilan olokan yang sama dengan teman-teman lainnya. "jadi kamu juga ikut manggil dia Mr. Bean?" , "kenapa kamu nda nanya namanya?" tanyaku. "aku ngga tau namanya, pi, tapi temen-temen semua manggil dia Mr. Bean, jadi aku juga ikut manggil Mr. Bean" jawabnya lugas.
Seringkali masalah kecil ini tidak menjadi perhatian kita, para orang tua, beberapa mungkin menasehati, beberapa mendengar sambil lalu dan tidak jarang yang tidak peduli. Dalam hati kecil ini aku bertanya apa gerangan yang terjadi dengan orang tua dari "Mr. Bean" itu sendiri, apakah mereka mengetahui panggilan olokan anaknya di sekolah dan apakah mereka mempedulikan atau malah tidak ambil peduli? Karakter building yang semestinya mulai tumbuh sejak Sekolah Dasar mungkin bisa berjalan tidak sempurna dan mempengaruhi faktor psikologis dari anak tersebut.
Kembali ke putri kami, aku sadar nasehatku bisa jadi tidak didengar, ketika aku menyarankan ia untuk berkenalan dan bertanya nama aslinya, namun toh tidak ada salahnya mencoba meskipun kemungkinan berhasil itu tipis dan pada akhirnya...............aku memang gagal. Putri kecil kami memang menuruti nasehatku untuk berkenalan tapi ia menjawab bahwa temannya tidak mau memberitahu namanya.
Beberapa hari setelah kejadian itu terjadi, aku memiliki kesempatan untuk membenarkan sikap putri kecil kami untuk menjadi lebih bertanggung jawab dan mau mengakui kesalahannya karena ikut-ikutan mengolok teman yang sama sekali tidak dikenalnya. Pagi itu, ketika aku mengantarnya ke sekolah, ia berbisik padaku "papi, ituloh mr. Bean." Waktu itu aku merasakan bahwa inilah saat yang tepat untuk membenarkan apa yang menjadi kesalahannya. Kugenggam tangan putriku dan kubawa ia mendekati "mr. bean" dan setelah dekat kuminta putri kami untuk berkenalan dengannya dan sekaligus mengenalkan namanya. "Halo, aku yujing, boleh tahu namamu nda?" kalimat itu meluncur dengan tangan yang terjulur tulus siap untuk menjabat teman yang dioloknya. Seperti yang diduga, Mr. Bean meski awalnya agak terkejut, menyambut tangan tulus itu dan dengan mantap menjawab pertanyaan putri kami, "halo namaku Willy, makasih." Sesaat aku melihat pancaran mata hangat dari Willy tanda persahabatan dan aku bersyukur bahwa hari itu putri kami telah melakukan sesuatu yang benar dalam hidupnya yang masih muda.
Seringkali masalah kecil ini tidak menjadi perhatian kita, para orang tua, beberapa mungkin menasehati, beberapa mendengar sambil lalu dan tidak jarang yang tidak peduli. Dalam hati kecil ini aku bertanya apa gerangan yang terjadi dengan orang tua dari "Mr. Bean" itu sendiri, apakah mereka mengetahui panggilan olokan anaknya di sekolah dan apakah mereka mempedulikan atau malah tidak ambil peduli? Karakter building yang semestinya mulai tumbuh sejak Sekolah Dasar mungkin bisa berjalan tidak sempurna dan mempengaruhi faktor psikologis dari anak tersebut.
Kembali ke putri kami, aku sadar nasehatku bisa jadi tidak didengar, ketika aku menyarankan ia untuk berkenalan dan bertanya nama aslinya, namun toh tidak ada salahnya mencoba meskipun kemungkinan berhasil itu tipis dan pada akhirnya...............aku memang gagal. Putri kecil kami memang menuruti nasehatku untuk berkenalan tapi ia menjawab bahwa temannya tidak mau memberitahu namanya.
Beberapa hari setelah kejadian itu terjadi, aku memiliki kesempatan untuk membenarkan sikap putri kecil kami untuk menjadi lebih bertanggung jawab dan mau mengakui kesalahannya karena ikut-ikutan mengolok teman yang sama sekali tidak dikenalnya. Pagi itu, ketika aku mengantarnya ke sekolah, ia berbisik padaku "papi, ituloh mr. Bean." Waktu itu aku merasakan bahwa inilah saat yang tepat untuk membenarkan apa yang menjadi kesalahannya. Kugenggam tangan putriku dan kubawa ia mendekati "mr. bean" dan setelah dekat kuminta putri kami untuk berkenalan dengannya dan sekaligus mengenalkan namanya. "Halo, aku yujing, boleh tahu namamu nda?" kalimat itu meluncur dengan tangan yang terjulur tulus siap untuk menjabat teman yang dioloknya. Seperti yang diduga, Mr. Bean meski awalnya agak terkejut, menyambut tangan tulus itu dan dengan mantap menjawab pertanyaan putri kami, "halo namaku Willy, makasih." Sesaat aku melihat pancaran mata hangat dari Willy tanda persahabatan dan aku bersyukur bahwa hari itu putri kami telah melakukan sesuatu yang benar dalam hidupnya yang masih muda.
No comments:
Post a Comment