Learn to let go. That is the key to happiness. -wishing tree-
Yuyu baru saja menyelesaikan kelas Grade 1 dengan nilai yang sangat memuaskan, 94 dari nilai tertinggi 99. Ia berhak untuk mendapatkan gelar passed with honor and distinction dalam nilai ujian praktek piano-nya tersebut, ketika secara mendadak, bagaikan halilintar di siang bolong, ia meminta maminya untuk keluar dari kelas piano-nya. Aku paham kenapa ia memilih untuk menceritakan permintaannya keluar itu kepada maminya daripada kepada diriku, karena permintaan itu adalah yang kesekian kalinya terlontar dari dirinya dan aku selalu berhasil "mengakali"nya untuk bertahan (lihat kisahku berhasil mempertahankan yuyu agar tetap melanjutkan kelas piano-nya di: 28 November 2012 - Papi adalah guru semangat Yuyu -). Kali ini yuyu tidak mau bertahan lagi dan ia bersikeras untuk keluar dari kelas piano.
Istriku menceritakan maksudnya dengan nada kalimat di bagian akhir yang menyatakan persetujuannya terhadap permintaan yuyu dan aku mengalah. Aku menemuinya dan mengajaknya berbicara untuk kesekian kalinya, kali ini aku bertanya apakah benar ia ingin meninggalkan kelas pianonya, ia menjawab dengan kepastian "ya pi, aku mau keluar." Aku memutuskan untuk berbicara dengan sekolah piano-nya dan membereskan keluarnya dengan cepat.
Satu hal yang masih belum kupahami dari yuyu adalah kenapa ia ingin keluar dari kelas piano meski nilainya tinggi? bagiku itu absurd, apalagi alasan yuyu tentang keinginan keluarnya selalu sama; tidak bisa dan tidak mau. Apa yang tidak bisa? nilainya menunjukkan ia bisa, guru piano-nya bahkan bilang kalau ia punya bakat. Alasannya tidak mau, mungkin ini adalah alasan yang lebih masuk di logika, disinilah dasar berpikirku bertumpu.
Yuyu mengikuti dua kelas tambahan di luar sekolah, piano dan kumon, untuk kumon ia tidak memiliki bakat yang "outstanding" dibandingkan dengan piano, tetapi kelas kumon masih berjalan hingga saat ini sementara kelas piano berhenti. Jika dilihat dari tingkat kebosanan, kumon lebih membosankan dibandingkan piano, namun dititik ini aku menemukan sesuatu yang lebih pada kelas kumon, yakni konsistensi. Kelas kumon mengajarkan yuyu untuk konsisten mengerjakan tugas yang diberikan setiap hari, sementara kelas piano tidak. Aku yang mestinya menjadi guru semangat yuyu-pun tidak konsisten untuk mengingatkan yuyu. Akhirnya, kelas piano yang memiliki gap dalam pertemuannya, yakni seminggu sekali tergeser fokusnya, sementara kelas kumon bertemu 2x seminggu dan setiap hari diisi dengan tugas yang harus kumpulkan pada setiap pertemuan, telah berhasil membuat yuyu menjadi lebih konsisten. Aku sadar yuyu bukan tidak suka dengan kelas piano, tetapi ia butuh sesuatu yang konsisten.
Kegagalanku untuk menjadi guru semangat yuyu merupakan suatu pelajaran yang berharga, tetapi aku tidak akan pernah berhenti berharap. Aku masih terus berjuang dan mencari cara agar suatu hari nanti, nada minuet itu terdengar kembali dengan lebih nyaring lewat denting piano yang sekarang mulai dimakan kesunyian.
No comments:
Post a Comment